Allah berfirman, “Dan Allah sekali-kali tidak akan mengazab mereka, sedang kamu (Muhammad) berada di antara mereke. Dan Tidaklah pula Allah mengazab mereka, sedang mereka beristighfar.” (Al-Anfal: 33). Berdasarkan ayat ini, Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhu berkomentar, “Dahulu, dalam umat ini, ada dua jaminan keamanan dimana Allah tidak menurunkan azabNya, yaitu Rasulullah Alaihi wa Sallam dan istighfar. Namun, Rasulullah kini sudah tiada, dan satu-satunya pengaman itu adalah istighfar.”
Tidak sedikit orang yang menempatkan istighfar itu dan membacanya bukan pada tempatnya, bahkan terkadang mempermainkan lafadz-lafadz istighfar. Banyak juga yang memahami bahwa istighfar itu hanya dibaca ketika dalam keadaan tidak berdaya. Padahal, istighfar itu pun diperintahkan dibaca setelah melakukan amalan-amalan unggulan, dimana pada saat itu ia sedang dianggap “menang.” Sebagai contoh, selesai shalat, wuquf di Arafah, qiyamullail dan ketika berada di waktu sahur, umat Islam diperintahkan untuk beristighfar.
Buku, “Fikih Istighfar” yang ditulis oleh Syaikh Ismail Al-Muqaddam ini, memberikan pemaknaan baru tentang istighfar. Membimbing para pembaca untuk memahami istighfar dengan pemahaman yang benar serta mempraktikannya pada tempat-tempat yang Allah dan Rasulullah perintahkan. Tak pelak, buku ini sangat bermanfaat bagi para pembaca.