“Islam yang kita catut dari Kalam Ilahi dan sunnah bukan apinya, bukan nyalanya, tapi abunya, debunya,….ah, ya asapnya, abunya yang berupa celak mata dan surban, abunya yang bisanya cuma baca Fatihah dan Tahlil, bukan apinya yang menyala-nyala dari ujung zaman satu ke zaman yang lain.” ~Sukarno, 1940
Dalam kongres Islam di Cirebon tahun 1922, K.H Ahmad Dahlan menyatakan bahwa karena persamaan kedudukan, tidak perlu perantara dalam ibadah. Oleh sebab itu, manusia harus bekerja sama dengan semua pihak walaupun berbeda agama. Baginya, kesalehan adalah pencarian kebenaran tanpa final, terbuka dialog dengan semua pihak yang berbeda. Pandangan ini berbeda dengan ketergantungan kehendak mutlak Tihan menurut doktrin tarjih. Ajaran dan pemikiran “Spiritualisme ‘hati suci'”. K.H. Ahmad Dahlan yang sangan toleran itu pada suatu masa pernah dibelokkan. Pembelokan itu terjadi saat elite ahli syariah mendominasi kepemimpinan Muhammadiyah. Mereka ingin memusnahkan tradisi TBC (tahyul, bid’ah, dan (k) hurafah) sampai pada akarnya, bahkan tak jarang cara-cara kekerasan ditempuh demi menegakkan syariah. Terang saja, gerakan pemurnian Islam seperti itu bereberangan dengan latar belakang kultural masyarakat pedesaan yang mayoritas petani. Mereka tertarik bergabung dengan Muhammadiyah manakala gerakan yang menawarkan pembaruan ini meluas ke pedesaan.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa Muhammadiyah bukanlah kesatuan tubuh yang seragam atau homogen. Keberagaman model kepengikutan itu muncul karena adanya gesekan manakala doktrin tarjih Muhammadiyah pascakepemimpinan K.H. Ahmad Dahlan diberlakukan secara kaku. Sangatlah wajar apabila kaum petani itu merasa asing dengan konsep Islam fundamentakus. Sebaliknya, mereka justru merasa nyaman dengan pola pemurnian Islam yang dibawa oleh K.H. Ahmad Dahlan yang mengedepankan kesalehan spiritual. Karena pergulatan ideologi itulah, muncullah model kepengikutan yang dinamakan Marhaenisme Muhammadiyah. Bagi kaum tani, menjadi Muhammadiyah akan memiliki arti apabila sesuai dunia makna magis, bukan etis. Upacara ritual
tbc, diubah maknanya sebagai tradisi dan media berbakti kepada “orang tua” atau untuk membangun karingan dakwah. TBC tidak serta merta ditolak, tapi Islam murni di pribumisasi, sehingga taklid, slametan kematian, dan tahlilan merupakan gejala umum yang aidanut pengikut gerakan ini.
“Memperjuangkan Marhaen berarti juga memperjuangkan dhuafa.” ~ Prof. Dr. Din Syamsuddin, M.A Ketua Umum PP Muhammadiyah